Senin, 04 Februari 2013

KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI

Kebebasan berserikat adalah perubahan yang paling signifikan dalam tonggak sejarah pergerakkan serikat pekerja di Indonesia melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, konvensi tersebut diratifikasi pada tanggal 9 Juni 1998. Yang sebelumnya terjadi “monopoli” serikat pekerja dan “larangan” berserikat untuk pegawai BUMN dan Pegawai Negeri Sipil. Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara, pasal 2 “Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain.

  1. bebas mendirikan organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi publik yang ada; tidak adanya larangan untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu perusahaan, atau institusi publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabang-cabang dan kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor yang ada;
  2. bebas bergabung dengan organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu;
  3. bebas mengembangkan hak-hak tersebut diatas tanpa pengecualian apapun, dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan politik.
Konvensi ILO No. 87 ini juga menjamin perlindungan bagi organisasi yang dibentuk oleh pekerja ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya campur tangan dari institusi publik, mereka dapat, pasal 3 (1) Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar dan peraturan-peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola administrasi dan aktifitas, dan merumuskan program. (2) Penguasa yang berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.
  1. bebas menjalankan fungsi mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan perlindungan akan kepentingan-kepentingan pekerja;
  2. menjalankan AD/ART dan aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur dan melaksanakan berbagai program aktifitasnya;
  3. mandiri secara finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan kepemilikan mereka;
  4. bebas dari ancaman pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak;
  5. bebas mendirikan dan bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai dengan pilihan mereka, bebas pula untuk berafiliasi dengan organisasi pekerja/pengusaha internasional. Bersamaan itu, kebebasan yang dimiliki federasi dan konfederasi ini juga dilindungi, sama halnya dengan jaminan yang diberikan kepada organisasi pekerja dan pengusaha. Pasal 5 “Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi-federasi dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional”.
Konvensi ILO 87 juga MENYEBUTKAN SECARA TIDAK TEGAS MENGENAI HAK MOGOK, DALAM PASAL 3 AYAT 1: organisasi pekerja dan organisasi pengusaha berhak menyusun AD/ART mereka, memilih wakil-wakil mereka dengan kebebasan penuh, menyelenggarkan administrasi dan kegiatan mereka serta menyusun program mereka” dan ditegaskan lagi pada pasal 10: mendorong dan membela kepentingan pekerja”. Hak mogok adalah hak fundamental bagi pekerja dan organisasi-organisasi mereka sebagai maksud untuk mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial mereka secara syah. Tetapi mogok adalah usaha akhir dari serikat pekerja setelah usaha-usaha yang bersifat kooperatif atau melalui meja perundingan tidak dapat dicapai kesepakatan.
Implementasi dari konvensi itu juga memastikan bahwa pegawai negeri dan pegawai BUMN/BUMD memiliki hak untuk kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi. Sejalan dengan ratifikasi Konvensi ILO tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini menjamin:
  1. hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja (Pasal 5 ayat 1: setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh)
  2. hak serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan
  3. perlindungan terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan intervensi serikat pekerja (pasal 28 ” siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerj/serikat buruh dengan cara: (a) melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; (b) tidak dibayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; (d) melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Pasal ini dikuatkan melalui pasal 43 bilamana melanggar pasal 28 “….dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,0 (seratus juta) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta).

 Dikutip dari : http://unionism.wordpress.com

Minggu, 02 Desember 2012

BOLEHKAH MELARANG PEKERJA TIDUR PADA JAM ISTIRAHAT?

Bolehkah perusahaan melarang karyawan/buruhnya tidur pada saat jam istirahat? Dalam hal ini perusahaan bukan menghilangkan hak pekerja untuk beristirahat, mereka tetap diijinkan untuk istirahat baik untuk menunaikan ibadah, makan, duduk, yang dilarang hanya tidur. Apakah tindakan perusahaan tersebut bertentangan dengan dengan undang-undang? 

Dalam upaya mengoptimalkan kinerja pekerja tanpa melalaikan hak-hak pekerja itu sendiri, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”) menentukan bahwa pengusaha wajib untuk memberikan kepada pekerja/buruh waktu istirahat bagi pekerja/buruh.
 
Pemberian waktu istirahat ini diatur dalam Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
 
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a.    istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
 
Pada praktiknya, waktu istirahat ini diberikan oleh perusahaan pada jam makan siang, ada yang 11.30-12.30, atau 12.00-13.00 ada pula yang memberikan waktu istirahat 12.30-13.30. Ada yang memberi waktu istirahat hanya setengah jam, namun sebagian besar perusahaan memberikan waktu istirahat satu jam. Dan penentuan jam istirahat ini menjadi kebijakan dari masing-masing perusahaan yang diatur dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
 
Dalam penggunaan waktu istirahat yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, adalah menjadi pilihan bagi pekerja untuk menggunakan waktu istirahatnya. Sesuai pengertian istirahat adalah untuk melepas lelah, sewajarnya tidak ada larangan bagi pekerja untuk menggunakan waktu istirahatnya dengan tidur. Berbeda halnya jika pekerja tidur pada saat jam kerja, hal ini bisa berakibat PHK. Penjelasan lebih jauh mengenai hal ini, simak artikel Bisakah Di-PHK Karena Tidur di Tempat Kerja?
 
Menjawab pertanyaan Anda, dalam peraturan perundang-undangan yang ada memang tidak diatur secara tegas larangan bagi pengusaha/perusahaan untuk melarang pekerjanya tidur di waktu istirahat.
 
Demikian sejauh yang kami pahami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Sumber : Try Indriadi - www.hukumonline.com

BOLEHKAH KARYAWAN MENOLAK PENEMPATAN KERJA ATAU MUTASI ?

Mutasi atau penempatan pekerja ke tempat lain harus memperhatikan berlakunya Pasal 32 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
 
(1).    Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2).    Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3).    Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.
 
Di Hukumonline pernah ada berita berjudul Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja. Di dalam berita tersebut diceritakan soal seorang pekerja (Bambang Prakoso) yang diputus hubungan kerjanya (di-PHK) oleh Bank Mega karena menolak mutasi. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pimpinan Supraja mengabulkan gugatan PHK yang dilayangkan Bank Mega terhadap Bambang Prakoso gara-gara menolak mutasi. Hakim menganggap, menolak mutasi sama dengan menolak perintah kerja. Sehingga tindakan Bambang dapat dikualifisir mengundurkan diri sesuai Pasal 168 UUK.
 
Dalam perkara Bambang melawan Bank Mega, memang disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan Perusahaan Bank Mega bahwa perusahaan berwenang untuk mengangkat, menetapkan, atau mengalihtugaskan satu jabatan ke jabatan lainnya atau satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan perusahaan.
 
Hal serupa pernah pula dialami oleh Bambang Wisudo yang digugat PHK oleh Kompas. Gugatan Kompas dikabulkan oleh Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta dengan dalil Bambang menolak mutasi. Lebih jauh simak artikel Mutasi Adalah Hak Mutlak Perusahaan, PHK Wartawan ‘Kompas’ Sah.
 
Kesamaan dari dua kasus tersebut di atas yaitu kedua karyawan tersebut sudah pernah menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan di mana saja. Menolak mutasi berarti sama saja melanggar syarat perjanjian kerja.
 
Kembali ke pokok masalah, seandainya benar perusahaan akan melakukan mutasi terhadap Anda dan Anda ingin menolak mutasi tersebut, Anda harus melihat kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ("PP") tempat Anda bekerja atau perjanjian kerja Anda dengan perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai “menolak perintah kerja”, atau melanggar perjanjian kerja, konsekuensinya adalah Anda dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja dan dapat digugat ke PHI.
 
Namun, sebelumnya Anda dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan menyampaikan latar belakang dari keberatan Anda untuk dimutasikan ke tempat lain karena alasan keluarga. Upaya awal yang dapat Anda lakukan adalah melalui perundingan bipartit. Lebih jauh simak artikel Hubungan Industrial.
 
Merujuk pada Pasal 32 UUK di atas, penempatan tenaga kerja memang harus memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum pekerja. Dengan demikian, memang sebaiknya pihak perusahaan memperhatikan kondisi pekerja yang akan dimutasi, termasuk kondisi keluarganya.
 
Jadi, menurut hemat kami, seandainya Anda terkena mutasi, Anda bisa saja menyampaikan keberatan Anda atas mutasi tersebut secara baik-baik atau “menawar” kebijakan mutasi tersebut agar perusahaan mempertimbangkan alasan Anda untuk tidak jauh dari keluarga. Dengan harapan, perusahaan akan mempertimbangkan kembali rencana mutasi tersebut.
 
Akan tetapi, jika kewenangan perusahaan untuk melakukan mutasi ini diatur dalam PP atau perjanjian kerja, maka perusahaan sangat mempunyai dasar untuk memutus hubungan kerja Anda jika Anda menolak mutasi. 

Sumber : Diana Kusumasari - www.hukumonline.com

Rabu, 25 Mei 2011

SERIKAT versus MANAJEMEN HOTEL THE ACACIA JAKARTA


Bertempat di Golden Ming Chinese Restaurant, akhirnya agenda pertemuan antara Serikat Pekerja Mandiri dan Manajemen Hotel The Acacia Jakarta bisa dilaksanakan dengan dihadiri dari pihak serikat hampir seluruh pengurus dan dari pihak manajemen sebagai perwakilan dari pengusaha dihadiri Bapak Yuliawan (General Manager), Ibu Anastasia (Human Resource), dan Bapak Diding (Lost Prevention).

Diawali pembukaan dari Bapak Sudarwo (Ketua Umum Serikat Pekerja) memperkenalkan seluruh kepengurusan yang baru periode 2011 – 2014 kepada manajemen, beliau juga menyampaikan bentuk dukungan sepenuhnya serikat kepada manajemen tentang visi misi yang pada dasarnya satu tujuan dengan manajemen yaitu untuk memajukan perusahaan sejauh tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Sedang dari Bapak Yuliawan sendiri sebagai General Manager ada beberapa hal yang beliau sampaikan, antara lain beliau menganggap baik pihak manajemen maupun staff karyawan adalah satu keluarga besar, yang harus saling mengasihi, menghormati, dan mempunyai tujuan yang sama yaitu demi kesejahteraan bersama-sama karena pada dasarnya selain bertujuan kerja mencari nafkah setidaknya kita hidup bersosialisasi.

Ada beberapa dari pengurus anggota yang mempertanyakan tentang bagaimana sikap manajemen menindak seandainya ada beberapa yang nota bene karyawan tetapi bisa juga  dibilang dari pihak “Owner” melakukan satu bentuk pelanggaran, lantas Bu Anastasia sebagai human resource memberikan jawaban “sangsi akan tetap sama diberlakukan tanpa pandang bulu selama itu berbentuk pelanggaran, tetap akan kami berikan sangsi yang tegas”.

Kita berharap mudah-mudahan apa yang disampaikan Bu Anastasia benar-benar sesuai dengan kenyataan, diberikan sangsi bukan hanya karyawan “biasa”yang melakukan kesalahan tapi juga Karyawan “khusus” dan semuanya berjalan berlandaskan aturan yang berlaku yaitu perjanjian kerja bersama, tanpa adanya tekanan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

- Redaksi SPM -

Jumat, 20 Mei 2011

PELATIHAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)

Didepan para tim perunding PKB dari Serikat Pekerja Mandiri Hotel The Acacia Jakarta antara lain Bro Darwo, Bro Erfan, Bro Nana, Bro Arif, Bro Adang, Ibu yang akrab kita panggil Bu Dewi ini memberikan pelatihan-pelatihan sekitar Perjanjian Kerja  Bersama (PKB).

Dengan sangat antusias para tim dari SPM Hotel The Acacia menyimak satu demi satu rentetan pelatihan dari Bu Dewi, beliau staff FSPM (Federasi Serikat Pekerja Mandiri) yang sangat aktif dan selalu siap memberikan sumbangsihnya demi majunya seluruh Serikat Pekerja Anggota.

Perlu diketahui sampai saat ini PKB Hotel The Acacia masih tertunda, masih ada beberapa pasal yang belum tercapai kemufakatan antara manajemen dan serikat.

Dengan harapan adanya pelatihan dari FSPM ini dapat memberikan masukan-masukan, wawasan baru keseluruh pengurus, anggota pada umumnya, dan buat tim perunding PKB pada khususnya.

Acara ini diadakan guna mempersiapkan pembuatan PKB selanjutnya, khususnya beberapa pasal yang masih tertunda. Selain itu juga karena ada beberapa tim perunding yang sebelumnya mengundurkan diri karena beberapa hal, sehingga ada beberapa orang yang baru masuk ke tim perunding sekarang dan perlu mendapatkan wawasan baru tentang perundingan kerja bersama.

Acara yang dimulai pukul 15.00 WIB dan selesai pukul 17.30 WIB ini berjalan dengan lancar, sempat juga diadakan beberapa tanya jawab soal permasalahan-permasalahan yang ada saat ini, dan kembali Ibu Dewi selalu siap dengan jawaban-jawaban yang lumayan membuat puas para peserta dari Serikat Hotel The Acacia.

- Redaksi -

Rabu, 18 Mei 2011

Mengenang Sosok “Pak De Sabari”

Masih terasa belum lama meski baru kemarin tiba-tiba muncul sosok lugu datang dengan senyum khasnya dan guyonan-guyonan yang kental dengan logat Solo-nya. Kami akrab memanggilnya “Pak De”, salah satu eks. Karyawan Hotel The Acacia yang sempat jadi korban Pemutusan Hubungan Kerja tanpa alsan yang kuat dari manajemen.

Berawal dari seorang atasan yang sebut saja Mr. A masalah ini muncul, dengan datangnya Mr. A yang membawa sebuah misi perampingan karyawan Perusahaan, dengan berbagai dalih dan trik akhirnya Pak De berhasil menjadi korban sasaran tembak Mr. A. mulai trik pemindahan ke bagian lain yang sangatlah tidak sesuai dengan bidang Pak De dan berakhir Pemutusan Hubungan Kerja.

Kurang lebih 20 bulan yang silam masalah ini berjalan sampai adanya putusan PHK, hingga kemarin Pak De datang jauh-jauh dari Solo hanya untuk mendapatkan Hak-haknya yang sempat tertunda selama kurang lebih 20 bulan, dengan konsekwensi selama rentang waktu selama itu Pak De harus berjuang untuk tetap bertahan dan menafkahi keluarganya tanpa mendapatkan hak-haknya.

Sampai pada akhirnya rekan-rekan dari Serikat kembali mempertanyakan hak-hak Pak De, dan berkat Kebesaran-Nya akhirnya manjemen legowo memberikan haknya yang tertunda.

Inilah perjuangan Pak De, seorang eks. karyawan yang memperjuangkan hak-haknya, dan untuk anak-anak dan istrinya demi periuk nasi Pak De agar tetap berdiri dan mengepulkan asap. Pak De kembali datang ke Jakarta dengan secercah senyum, penuh dengan harapan. Ternyata selama ini perjuangannya tidak sia-sia.

Selamat Berjuang Pak De,…semoga hasil dari perjuangan ini bisa membawa berkah buat Pak De sekeluarga dan memberikan pelajaran kita semua tentang betapa pentingnya arti sebuah Perjuangan, Persatuan, Kekompakan, dan Do’a.

-Redaksi SPM Hotel The Acacia Jakarta-

Rapat Pengurus SPM

Rapat Pengurus SPM pada hari ini Rabu, 18 Mei 2011, dengan agenda acara persiapan silaturrahmi antara Pengurus SPM dengan Manajemen Hotel The Acacia Jakarta. Rapat dihadiri pengurus Serikat, bertempat di Kantor Sekretariat SPM Acacia Jakarta.